Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mencatat, ada 29.000 badan usaha milik desa di Indonesia yang aktif berkegiatan usaha. Mayoritas BUMDes, menurut Direktur Pengembangan Usaha Ekonomi Desa Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Nugroho Setijo Nagoro, mengelola sumber daya lokal guna menggenjot perekonomian warga.
Soal pemanfaatan sumber daya lokal itu, Nugroho mencontohkan dengan upaya warga di sekitar sungai atau laut, yang memanfaatkan kulit ikan atau kepiting untuk dibuat kerupuk. Bahkan, badan usaha milik desa (BUMDes) di sejumlah desa di pelosok Kalimantan dan Sulawesi, telah memproduksi kerupuk untuk diekspor ke negara tetangga, misalnya Malaysia. Dari usaha itu, puluhan ibu rumah tangga mendapat penghasilan hingga Rp 750.000 per hari.
Kini pemerintah mendorong agar tiap desa menghidupkan BUMDes. Nantinya, pemerintah akan mengevaluasi anggaran dana desa untuk desa-desa yang tidak menjalankan BUMDes.
”Kalau desa tidak menjalankan peraturan menteri, kami akan mendorong agar alokasi dana desa dikurangi karena desa tidak memprioritaskan (BUMDes). Kami menganggap desa tidak memerlukan dana itu. Namun, saat ini, kami utamakan sosialisasi,” kata Nugroho, Senin (29/1), di Bandar Lampung, dalam seminar ”Strategi dan Pengembangan BUMDes di Provinsi Lampung”. Seminar dihadiri sekitar 100 peserta dari aparatur desa dan instansi terkait. Hadir pula Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Lampung Hamartoni Ahadis.
Meski demikian, Nugroho meyakini jumlah BUMDes yang sudah terbentuk, jauh lebih banyak. ”Saya optimistis, lebih dari 50 persen desa sudah punya BUMDes. Namun, ada BUMDes yang belum terdata. Sebagian ada yang vakum, tetapi juga yang belum terlaporkan. Kami masih terus melakukan validasi,” katanya.
Direktur Pusat Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan Universitas Bandar Lampung Indriati Agustina Gultom, yang aktif mendampingi BUMDes di Lampung, mengatakan, BUMDes didorong mengembangkan usaha yang belum ada di desa. Hal itu dilakukan agar kehadiran BUMDes tidak membunuh pedagang kecil atau pengusaha lokal yang telah menjalankan bisnis serupa lebih awal.
Indriati mencontohkan, saat ini masih banyak BUMDes yang bergerak di perdagangan sembako atau penyewaan perlengkapan pesta dan pelayanan katering. Akibatnya, BUMDes justru bersaing dengan pedagang dan pengusaha kecil. Padahal, katanya, masih banyak jenis usaha lain yang dapat dikembangkan. Desa yang kesulitan air, misalnya, bisa mengembangkan usaha jaringan air bersih.
Dia menambahkan, unit usaha BUMDes juga tidak harus menghasilkan produk. BUMDes juga dapat bergerak di sektor jasa, misalnya, jasa transaksi simpan pinjam atau pengelolaan resi gudang. Karena itu, BUMDes sekaligus membantu pemerintah menggerakkan aset yang masih terbengkalai.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Irwan Effendi mengatakan, BUMDes didorong mengembangkan agribisnis terpadu dan kreatif. Hal itu karena penopang ekonomi mayoritas desa adalah pertanian. Usaha agribisnis terpadu dapat dilakukan dengan mengelola bisnis pertanian dari hulu hingga hilir.